Etika Profesi Akuntansi
1.
Basis teori
etika
Teleologi berasal dari
bahasa Yunani yaitu telos yang memiliki arti tujuan. Dalam hal mengukur baik
buruknya suatu tindakan yaitu berdasarkan tujuan yang akan dicapai atau
berdasarkan akibat yang ditimbulkan dari tidakan yang telah dilakukan. Dalam
tori teleologi terdapat dua aliran, yaitu.
- Egoisme
etis : Inti pandangan dari egoisme adalah
tindakan dari setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar
kepentingan pribadi dan memajukan diri sendiri.
Contoh
: Anto yang selalu bekerja keras di dalam perusahaan A untuk mengejar posisi
yang tertinggi.
- Utilitarianisme
: Berasal dari bahasa Latin yaitu utilis yang memiliki arti bermanfaat.
Menurut teori ini, suatu perbuatan memiliki arti baik jika membawa manfaat
bagi seluruh masyarakat ( The greatest happiness of the greatest number ).
Contoh
: Andi di desa nya yang membangun koperasi untuk membantu sebagian masyarakat
di desa nya
- Deontologi
Deontologi berasal
dari bahasa Yunani yaitu deon yang memiliki arti kewajiban. Jika terdapat
pertanyaan “Mengapa perbuatan ini baik dan perbuatan itu harus ditolak karena
buruk?”. Maka Deontologi akan menjawab “karena perbuatan pertama menjadi
kewajiban kita dan arena perbuatan kedua dilarang”. Pendekatan deontologi sudah
diterima oleh agama dan merupakan salah satu teori etika yang penting.
Contoh
: Andi yang beragama islam harus melalukan ibadah yang sesuai di ajarkan.
- Teori
Hak
Dalam pemikiran moral
saat ini, teori hak merupakan pendekatan yang paling banyak dipakai untuk
mengevaluasi baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku. Teori hak ini
merupakan suatu aspek dari teori deontologi karena berkaitan dengan kewajiban.
Hak didasarkan atas martabat manusia dan martabat semua manusia adalah sama.
Oleh karena itu, hak sangat cocok dengan suasana pemikiran demokratis.
Contoh
: Seorang pegawai yang menerima gaji tiap bulannya sebagai haknya dia
- Teori
Keutamaan ( Virtue )
Dalam teori keutamaan
memandang sikap atau akhlak seseorang. Keutamaan bisa didefinisikan sebagai
disposisi watak yang telah diperoleh seseorang dan memungkinkan seseorang untuk
bertingkah laku baik secara moral.
Contoh
:
- Kebijaksanaan
: Seorang pemimpin perusahaan yang harus bijak mengambil keputusan di
dalam perusahaan
- Keadilan
: Orang tua yang mempunyai 2 anak , mereka harus bias adil memperlakukan
anak mereka agar tidak ada iri hati
- Suka
bekerja keras : Andi yang bekerja
keras demi mencapai cita-citanya
- Hidup
yang baik : Andi
yang beragama islam harus mempunyai hidup yang baik dimana pun berada.
2.
Prinsip dalam
etika berprofesi
Prinsip-prinsip etika
profesi
Tuntutan profesional sangat erat hubungannya dengan suatu kode etik untuk
masing-masing profesi. Kode etik itu berkaitan dengan prinsip etika tertentu
yang berlaku untuk suatu profesi. Di sini akan dikemukakan empat prinsip etika
profesi yang paling kurang berlaku untuk semua profesi pada umumnya. Tentu saja
prinsip-prinsip ini sangat minimal sifatnya, karena prinsip-prinsip etika pada
umumnya yang paling berlaku bagi semua orang, juga berlaku bagi kaum
profesional sejauh mereka adalah manusia.
1. Pertama, prinsip
tanggung jawab. Tanggung jawab adalah satu prinsip pokok bagi kaum profesional,
orang yang profesional sudah dengan sendirinya berarti orang yang bertanggung
jawab. Pertama, bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaannya dan
terhadap hasilnya. Maksudnya, orang yang profesional tidak hanya diharapkan
melainkan juga dari dalam dirinya sendiri menuntut dirinya untuk bekerja sebaik
mungkin dengan standar di atas rata-rata, dengan hasil yang maksimum dan dengan
moto yang terbaik. Ia bertanggung jawab menjalankan pekerjaannya sebaik mungkin
dan dengan hasil yang memuaskan dengan kata lain. Ia sendiri dapat
mempertanggungjawabkan tugas pekerjaannya itu berdasarkan tuntutan
profesionalitasnya baik terhadap orang lain yang terkait langsung dengan
profesinya maupun yang terhadap dirinya sendiri. Kedua, ia juga bertanggung
jawab atas dampak profesinya itu terhadap kehidupan dan kepentingan orang lain
khususnya kepentingan orang-orang yang dilayaninya. Pada tingkat dimana
profesinya itu membawa kerugian tertentu secara disengaja atau tidak disengaja,
ia harus bertanggung jawab atas hal tersebut, bentuknya bisa macam-macam.
Mengganti kerugian, pengakuan jujur dan tulus secara moral sebagai telah
melakukan kesalahan: mundur dari jabatannya dan sebagainya.
2. Prinsip kedua adalah
prinsip keadilan . Prinsip ini terutama menuntut orang yang profesional agar
dalam menjalankan profesinya ia tidak merugikan hak dan kepentingan pihak
tertentu, khususnya orang-orang yang dilayaninya dalam rangka profesinya
demikian pula. Prinsip ini menuntut agar dalam menjalankan profesinya orang
yang profesional tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap siapapun termasuk
orang yang mungkin tidak membayar jasa profesionalnya .prinsip “siapa yang
datang pertama mendapat pelayanan pertama” merupakan perwujudan sangat konkret
prinsip keadilan dalam arti yang seluas-luasnya .jadi, orang yang profesional
tidak boleh membeda-bedakan pelayanannya dan juga kadar dan mutu pelayanannya
itu jangan sampai terjadi bahwa mutu dan itensitas pelayanannya profesional
dikurangi kepada orang yang miskin hanya karena orang miskin itu tidak membayar
secara memadai. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa kasus yang sering
terjadi di sebuah rumah sakit, yang mana rumah sakit tersebut seringkali
memprioritaskan pelayanan kepada orang yang dianggap mampu untuk membayar
seluruh biaya pengobatan, tetapi mereka melakukan hal sebaliknya kepada orang
miskin yang kurang mampu dalam membayar biaya pengobatan. Penyimpangan seperti
ini sangat tidak sesuai dengan etika profesi, profesional dan profesionalisme,
karena keprofesionalan ditujukan untuk kepentingan orang banyak (melayani
masyarakat) tanpa membedakan status atau tingkat kekayaan orang tersebut.
3. Prinsip ketiga
adalah prinsip otonomi. Ini lebih merupakan prinsip yang dituntut oleh kalangan
profesional terhadap dunia luar agar mereka diberi kebebasan sepenuhnya dalam
menjalankan profesinya. Sebenarnya ini merupakan kensekuensi dari hakikat
profesi itu sendiri. Karena, hanya kaum profesional ahli dan terampil dalam
bidang profesinya, tidak boleh ada pihak luar yang ikut campur tangan dalam pelaksanaan
profesi tersebut. ini terutama ditujukan kepada pihak pemerintah. Yaitu, bahwa
pemerintah harus menghargai otonomi profesi yang bersangkutan dan karena itu
tidak boleh mencampuri urusan pelaksanaan profesi tersebut. Otonomi ini juga
penting agar kaum profesional itu bisa secara bebas mengembangkan profesinya,
bisa melakukan inovasi, dan kreasi tertentu yang kiranya berguna bagi
perkembangan profesi itu dan kepentingan masyarakat luas. Namun begitu tetap
saja seorang profesional harus diberikan rambu-rambu / peraturan yang dibuat
oleh pemerintah untuk membatasi / meminimalisir adanya pelanggaran yang
dilakukan terhadap etika profesi, dan tentu saja peraturan tersebut ditegakkan
oleh pemerintah tanpa campur tangan langsung terhadap profesi yang dikerjakan
oleh profesional tersebut.
Hanya saja otonomi ini punya batas-batasnya juga. Pertama, prinsip otonomi
dibatasi oleh tanggung jawab dan komitmen profesional (keahlian dan moral) atas
kemajuan profesi tersebut serta (dampaknya pada) kepentingan masyarakat. Jadi,
otonomi ini hanya berlaku sejauh disertai dengan tanggung jawab profesional.
Secara khusus, dibatasi oleh tanggung jawab bahwa orang yang profesional itu,
dalam menjalankan profesinya secara otonom, tidak sampai akan merugikan hak dan
kewajiban pihak lain. Kedua, otonomi juga dibatasi dalam pengertian bahwa
kendati pemerintah di tempat pertama menghargai otonom kaum profesional,
pemerintah tetap menjaga, dan pada waktunya malah ikut campur tangan, agar
pelaksanaan profesi tertentu tidak sampai merugikan kepentingan umum. Jadi,
otonomi itu hanya berlaku sejauh tidak sampai merugikan kepentingan bersama.
Dengan kata lain, kaum profesional memang otonom dan bebas dalam menjalankan
tugas profesinya asalkan tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tetentu,
termasuk kepentingan umum. Sebaliknya, kalau hak dan kepentingan pihak tertentu
dilanggar, maka otonomi profesi tidak lagi berlaku dan karena itu pemerintah
wajib ikut campur tangan dengan menindak pihak yang merugikan pihak lain tadi.
Jadi campur tangan pemerintah disini hanya sebatas pembuatan dan penegakan
etika profesi saja agar tidak merugikan kepentingan umum dan tanpa mencampuri
profesi itu sendiri. Adapun kesimpangsiuran dalam hal campur tangan pemerintah
ini adalah dapat dimisalkan adanya oknum salah seorang pegawai departemen agama
pada profesi penghulu, yang misalnya saja untuk menikahkan sepasang pengantin
dia meminta bayaran jauh lebih besar daripada peraturan yang telah ditetapkan
oleh Pemerintah.
4. Prinsip integritas
moral. Berdasarkan hakikat dan ciri-ciri profesi di atas terlihat jelas bahwa
orang yang profesional adalah juga orang yang punya integritas pribadi atau
moral yang tinggi. Karena, ia mempunyai komitmen pribadi untuk menjaga
keluhuran profesinya, nama baiknya dan juga kepentingan orang lain dan
masyarakat. Dengan demikian, sebenarnya prinsip ini merupakan tuntutan kaum
profesional atas dirinya sendiri bahwa dalam menjalankan tugas profesinya ia
tidak akan sampai merusak nama baiknya serta citra dan martabat profesinya.
Maka, ia sendiri akan menuntut dirinya sendiri untuk bertanggung jawab atas
profesinya serta tidak melecehkan nilai yang dijunjung tinggi dan diperjuangkan
profesinya. Karena itu, pertama, ia tidak akan mudah kalah dan menyerah pada
godaan atau bujukan apa pun untuk lari atau melakukan tindakan yang melanggar
niali uang dijunjung tinggi profesinya. Seorang hakim yang punya integritas
moral yang tinggi menuntut dirinya untuk tidak mudah kalah dan menyerah atas
bujukan apa pun untuk memutuskan perkara yang bertentangan dengan prinsip
keadilan sebagai nilai tertinggi yang diperjuangkan profesinya. Ia tidak akan
mudah menyerah terhadap bujukan uang, bahkan terhadap ancaman teror, fitnah,
kekuasaan dan semacamnya demi mempertahankan dan menegakkan keadilan. Kendati,
ia malah sebaliknya malu kalau bertindak tidak sesuai dengan niali-nilai moral,
khususnya nilai yang melekat pada dan diperjuangkan profesinya. Sikap malu ini
terutama diperlihatkan dengan mundur dari jabatan atau profesinya. Bahkan, ia
rela mati hanya demi memepertahankan kebenaran nilai yang dijunjungnya itu.
Dengan kata lain, prinsip integritas moral menunjukan bahwa orang tersebut
punya pendirian yang teguh, khususnya dalam memperjuangjan nilai yang dianut
profesinya. Biasanya hal ini (keteguhan pendirian) tidak bisa didapat secara
langsung oleh pelaku profesi (profesional), misalnya saja seorang yang baru
lulus dari fakultas kedokteran tidak akan langsung dapat menjalankan seluruh
profesi kedokterannya tersebut, melainkan dengan pengalaman (jam terbang) dokter
tersebut dalam melayani masyarakat.
3. Lingkungan
bisnis yang mempengaruhi perilaku etika
untuk terciptanya etika didalam
bisnis yang sesuai dengan budi pekerti luhur, ada beberapa yang perlu
diperhatikan, antara lain :
- Pengendalian diri
- Pengembangan tenggung jawab sosial
- Mempertahankan jati diri
- Menciptakan persaingan yang sehat
- Menerapkan konsep pembangunan yang berkelanjutan.
Adapun hal-hal yang perlu dihindari
agar terciptanya etika didalam bisnis yang baik yaitu menghindari sikap 5K
- Katabelece
- Kongkalikong
- Koneksi
- Kolusi, dan
- Komisi
KESALING TERGANTUNGAN ANTARA BISNIS
DAN MASYARAKAT
Perusahaan yang merupakan suatu
lingkungan bisnis juga sebuah organisasi yang memiliki struktur yag cukup jelas
dalam pengelolaannya. ada banyak interaksi antar pribadi maupun institusi yang
terlibat di dalamnya. Dengan begitu kecenderungan untuk terjadinya konflik dan
terbukanya penyelewengan sangat mungkin terjadi. baik di dalam tataran
manajemen ataupun personal dalam setiap tim maupun hubungan perusahaan dengan
lingkungan sekitar. untuk itu etika ternyata diperlukan sebagai kontrol akan
kebijakan, demi kepentingan perusahaan itu sendiri. Oleh karena itu kewajiban
perusahaan adalah mengejar berbagai sasaran jangka panjang yang baik bagi
masyarakat.
Berikut adalah beberapa hubungan
kesaling tergantungan antara bisnis dengan masyarakat.
- Hubungan antara bisnis dengan langganan / konsumen
Hubungan antara bisnis dengan
langgananya adalah hubungan yang paling banyak dilakukan, oleh karena itu
bisnis haruslah menjaga etika pergaulanya secara baik. Adapun pergaulannya
dengan langganan ini dapat disebut disini misalnya saja :
Kemasan yang berbeda-beda membuat
konsumen sulit untuk membedakan atau mengadakan perbandingan harga terhadap
produknya.
Bungkus atau kemasan membuat konsumen
tidak dapat mengetahui isi didalamnya,
Pemberian servis dan terutama
garansi adalah merupakan tindakan yang sangat etis bagi suatu bisnis.
Manajer yang pada umumnya selalu
berpandangan untuk memajukan bisnisnya sering kali harus berurusan dengan etika
pergaulan dengan karyawannya. Pergaulan bisnis dengan karyawan ini meliputi
beberapa hal yakni : Penarikan (recruitment), Latihan (training), Promosi atau
kenaikan pangkat, Tranfer, demosi (penurunan pangkat) maupun lay-off atau
pemecatan / PHK (pemutusan hubungan kerja).
Hubungan ini merupakan hubungan
antara perusahaan yang satu dengan perusahan yang lain. Hal ini bisa terjadi
hubungan antara perusahaan dengan para pesaing, grosir, pengecer, agen tunggal
maupun distributor.
Perusahaan yang berbentuk Perseroan
Terbatas dan terutama yang akan atau telah “go publik” harus menjaga pemberian
informasi yang baik dan jujur dari bisnisnya kepada para insvestor atau calon
investornya. prospek perusahan yang go public tersebut. Jangan sampai
terjadi adanya manipulasi atau penipuan terhadap informasi terhadap hal ini.
- Hubungan dengan Lembaga-Lembaga Keuangan
Hubungan dengan lembaga-lembaga
keuangan terutama pajak pada umumnya merupakan hubungan pergaulan yang bersifat
finansial.
KEPEDULIAN PELAKU BISNIS TERHADAP
ETIKA
Etika bisnis dalam suatu perusahaan
mempunyai peranan yang sangat penting, yaitu untuk membentuk suatu bisnis yang
kokoh dan kuat dan mempunyai daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan
untuk menciptakan nilai yang tinggi. Perilaku etis dalam kegiatan berbisnis
adalah sesuatu yang penting demi kelangsungan hidup bisnis itu sendiri. Bisnis
yang tidak etis akan merugikan bisnis itu sendiri terutama jika dilihat dari
perspektif jangka panjang. Bisnis yang baik bukan saja bisnis yang
menguntungkan, tetapi bisnis yang baik adalah selain bisnis tersebut
menguntungkan juga bisnis yang baik secara moral.
Tolak ukur dalam etika bisnis adalah
standar moral. Seorang pengusaha yang beretika selalu mempertimbangkan standar
moral dalam mengambil keputusan, apakah keputusan ini dinilai baik atau buruk
oleh masyarakat, apakah keputusan ini berdampak baik atau buruk bagi orang
lain, atau apakah keputusan ini melanggar hukum.
Dalam menciptakan etika bisnis perlu
diperhatikan beberapa hal, antara lain pengendalian diri dan tidak
mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan
teknologi, pengembangan tanggung jawab sosial, mempertahankan jati diri,
menciptakan persaingan yang sehat, menerapkan konsep pembangunan yang
berkelanjutan, mampu menyatakan hal yang benar, Menumbuhkan sikap saling
percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha kebawah,
Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati
bersama dan lain sebagainya.
4.
Perkembangan dalam etika bisnis
1.
Situasi terdahulu
Berabad-abad lamanya etika berbicara
pada taraf ilmiah tentang masalah ekonomi dan bisnis sebgai salah satu topic di
samping sekian banyak topic lain. Pada awal sejarah filsafat, Plato,
Aristoteles, dan filsuf-filsuf Yunani lain meyelidiki bagaimana sebaiknya
mengatur kehidupan menusia bersama dalam Negara dan dalam konteks itu mereka
membahas juga bagaimana kehidupan ekonomi dan kegiatan niaga harus diatur. Dalam
filsafat dan teologi Abad pertengahan pembahasan ini dilanjutkan, dalam
kalangan Kristen maupun Islam, Topik-topik moral sekitar ekonomi dan perniagaan
tidak luput pula dari perhatian filsafat (dan teologi) di zaman modern.
Dengan membatasi diri pada situasi
di Amerika Serikat selama paro pertama abad ke-20, De George melukiskan
bagaimana di perguruan tinggi masalah moral di sekitar ekonomi dan bisnis
terutama disoroti dalam teologi.
Pada waktu itu di banyak universitas
diberikan kuliah agama dimana mahasiswa mempelajari masalah-masalh moral
sekitar ekonomi dan bisnis. Pembahasannya tentu berbeda, sejauh mata kuliah ini
diberikan dalam kalangan Katolik atau Protestan. Dalam kalangan Katolik, pada
umumnya mata kuliah ini mendalami “Ajaran Sosial Gereja”. Yang dimaksudkan
dengannya adalah uraian sistematis dari ajaran para paus dalam
ensiklik-ensiklik social, mulai dengan ensiklik Rerum Novarum (1891) dari Paus
Leo XIII. Disini disinggung banyak tema yang menyangkut moralitas dalam
kehidupan social-ekonomi seperti hak pekerja atas kondisi kerja yang baik dan
imbalan yang pantas, pentingnya nilai-nilai moral bertentangan dengan suasana
materialitas dan konsumeristis, keadilan social dan upaya memperbaiki taraf
hidup orang miskin, dan sebagainya. Dalam kalangan Protestan, buku teolog
Jerman Reinhold Niebuhr Moral man and Immoral Society (New York, 1932)
menjalankan pengaruh besar atas pengajaran etika mengenai tema-tema sosio
ekonomi dan bisnis di perguruan tinggi mereka.
Dengan demikian di Amerika Serikat
selama paro pertama abad ke-20 etika dalam bisnis terutama dipraktekkan dalam
konteks agama dan teologi. Dan pendekatan ini masih berlangsung terus sampai
hari ini, di Amerika Serikat maupun di tempat lain. Para paus mengeluarkan
ensiklik-ensiklik social baru sampai dengan Sollicitudo Rei Socialis (1987) dan
Centesimus Annus (1991) dari Paus Yohanes Paulus II. Suatu contoh bagus khusus
untuk Amerika Serikat adalah dokumen pastoral yang dikeluarkan oleh para uskup
Amerika Serikat dengan judul Economic Justice for All. Catholic Social Teaching
and the U.S. Economy (1986).
2.
Masa Peralihan tahun 1960-an
Dalam tahu 1960-an terjadi
perkembangan baru yang bisa dlihat sebagai persiapan langsung bagi ti,bulnya
etika bisnis dalam decade berikutnya. Dasawarsa 1960-an ini di Amerika Serikat
(dan dunia Barat pada umumnya) ditandai oleh pemberontakan terhadap kuasa dan
otoritas, revolusi mahasiswa (mulai di ibukota Prancis bulan Mei 1968),
penolakan terhadap establishment (kemapanan). Suasana tidak tenang ini
diperkuat lagi karena frustasi yang dirasakan secara khusus oleh kaum muda
dengan keterlibatan Amerika Serikat dalam perang Vietnam. Rasa tidak puas ini
mengakibatkan demonstrasi-demonstrasi paling besar yang pernah disaksikan di
Amerika Serikat. Secara khusus kaum muda menolak kolusi yang dimata mereka
terjadi antara militer dan industry. Industry dinilai terutama melayani
kepentingan militer. Serentak juga untuk pertama kali timbul kesadaran akan
masalah ekologis dan terutama industri dianggap sebagai penyebab masalah
lingkungan hidup itu dengan polusi udara, air, dan tanah serta limbah beracun
dan sampah nuklir. Pada waktu yang sama timbul juga suatu sikap
anti-konsumeristis. Suasana konsumerisme semakin dilihat sebagai tendensi yang
tidak sehat dalam masyarakat dan diakibatkan oleh bisnis modern antara lain
dengan kampanye periklanan yang sering kali berlebihan. Semua factor ini
mengakibatkan suatu sikap anti bisnis pada kaum muda, khususnya mahasiswa.
Dunia pendidikan menanggapi situasi
ini dengan cara berbeda-beda. Salah satu reaksi paling penting adalah member
perhatian khusus kepada social issues dalam kuliah tentang manajemen. Bebrapa
sekolah bisnis mulai dengan mencantumkan mata kuliah baru dalam kurikulumnya
yang biasa diberi nama Business and Society. Kuliah ini diberikan oleh
dosen-dosen manajemen dan mereka menyusun buku-buku pegangan dan publikasi lain
untuk menunjang mata kuliah baru itu. Salah satu topic yang menjadi popular
dalam konteks itu adalah corporate social responsibility ( tanggung jawab
social perusahaan). Pendekatan ini diadakan dari segi manajemen dengan
sebagaian melibatkan juga hokum dan sosiologi, tetapi teori etika filosofis di
sini belum dimanfaatkan.
3.
Etika bisnis lahir di Amerika
Serikat tahun 1970-an
Etika bisnis sebagai suatu bidang
intelektual dan akademis dengan identitas sendiri mulai terbentuk di Amerika
Serikat sejak tahun 1970-an. Jika sebelumnya etika membicarakan aspek-aspek
moral dari bisnis di samping banyak pokok pembicaraan moral lainnya (etika
dalam hubungan dengan bisnis), kini mulai berkembang etika bisnis dalam arti
sebenarnya. Terutama ada dua factor yang member kontribusi besar kepada
kelahiran etika bisnis di Amerika Serikat pada pertengahan tahun 1970-an.
Sejumlah filsuf mulai terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etika sekitar
bisnis dan etika bisnis dianggap sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis
moral yang sedang meliputi dunia bisnis di Amerika Serikat. Kita akan memandang
dua factor ini dengan lebih rinci.
Jika sebelumya hanya para teolog dan
agamawan pada tahap ilmiah membicarakan masalah-masalah moral dari bisnis, pada
tahun 1970-an para filsuf memasuki wilayah penelitian ini dan dalam waktu
singkat menjadi kelompok yang paling dominan. Beberapa tahun sebelumnya,
filsuf-filsuf lain sudah menentukan etika biomedis (disebut juga : bioetika)
sebagai suatu bidang garapan yang baru. Sebagaian terdorong oleh sukses usaha
itu, kemudian beberapa filsuf memberanikan diri untuk terjun dalam etika bisnis
sebagai sebuah cabang etika terapan lainnya. Bagi filsuf-filsuf bersangkutan
sebenarnya langkah ini merupakan perubahan cukup radikal, karena suasana umum
penelitian filsafat pada saat itu justru jauh dari masalah praktis. Pantas
dicatat lagi, dalam mengembangkan etika bisnis para filsuf cenderung bekerja sama
dengan ahli-ahli lain, khususnya ahli ekonomi dan manejemen. Dengan itu mereka
meneruskan tendensi etika terapan pada umumnya, yang selalu berorientasi
multidisipliner. Norman E. Bowie malah menyebut suatu kerja sama macam itu
sebagai tanggal kelahiran etika bisnis, yaitu konferensi perdana tentang etika
bisnis yang diselenggarakan di Universitas Kansan oleh Philosophy Departement
(Richard De George) bersama College of Business (joseph Pichler) bulan November
1974. Makalah-makalahnya kemudian diterbitkan dalam bentuk buku : Ethics, Free
Enterprise, and Public Policy: Essays on Moral Issues in Business (1978)
Factor kedua yang memacu timbulnya
etika bisnis sebagai suatu bidang studi yang serius adalah krisis moral yang
dialami dunia bisnis Amerika pada awal tahun 1970-an. Krisis moral dalam yang
dialami dunia bisnis itu diperkuat lagi oleh krisis moral lebih umum yang
melanda seluruh masyarakat Amerika pada waktu itu. Sekitar tahun 1970 masih
berlangsung demonstrasi-demonstrasi besar melawan keterlibatan Amerika dalam
perang Vietnam. Karena perkembangan perang ini, banyak orang mulai meragukan
kredibilitas pemerintah federal di Washington dan para politisi pada umumnya.
Krisis moral ini menjadi lebih besar lagi dengan menguaknya “Watergate Affair”
yang akhirnya memaksa Presiden Richard Nixon mengundurkan diri (pertama kali
dalam sejarah Amerika). Dilatarbelakangi krisis moral yang umum itu, dunia
bisnis Amerika tertimpa oleh krisis moral yang khusus. Pada awal tahun 1970-an
terjadi beberapa skandal dalam bisnis Amerika, di mana pebisnis berusaha
menyuap politisi atau member sumbangan illegal kepada kampanye politik. Yang
mendapat publisitas paling luas antara skandal-skandal bisnis ini adalah
“Lockheed Affair”, kasus korupsi yang melibatkan perusahaan pesawat terbang
Amerika yang terkemuka ini. Kasus korupsi dan komisi seperti itu mengakibatkan
moralitas dalam berbisnis semakin dipertanyakan. Masyarakat mulai menyadari
bahwa ada suasana kurang sehat dalam dunia bisnis dan bahwa krisis moral itu
segera harus diatasi.
Sebagaian sebagai reaksi atas
terjadinya peristiwa-peristiwa tidak etis ini pada awal tahun 1970-an dalam
kalangan pendidikan Amerika dirasakan kebutukan akan refleksi etika di bidang
bisnis. Salah satu usaha khusus adalah menjadikan etika bisnis sebagai mata
kuliah dalam kurikulum perguruan tinggi yang mendidik manajer dan ahli ekonomi.
Keputusan ini ternyata berdampak luas. Jika etika bisnis menjadi suatu mata
kuliah tersendiri, harus ada dosen, buku pegangan dan bahan pengajaran lainnya,
pendidikan dosen etika bisnis haru diatur, komunikasi ilmiah antara para ahli
etika bisnis harus dijamin dengan dibukanya organisasi profesi serta jurnal
ilmiah, dan seterusnya. Misalnya, Norman E. Bowie, sekretaris eksekutif dari
American Philosophical Association, mengajukan proposal kepada National
Endowment for the Humanities (dari Kementerian Pendidikan Amerika) guna
menyusun pedoman untuk pengajaran kuliah etika bisnis. Kelompok yang yang
terdiri atas beberapa filsuf, dosen sekolah bisnis, dan praktisi bisnis ini
diberi nama Commeittee for Education in Business Eyhics dan membutuhkan tiga
tahun untuk menyelesaikan laporannya pada akhir tahun 1980. Dengan demikian
dipilihnya etika bisnis sebagai mata kuliah dalam kurikulum sekolah bisnis
banyak menyumbang kepada perkembangannya kea rah bidang ilmiah yang memiliki
identitas sendiri.
4.
Etika bisnis meluas ke Eropa tahun
1980-an
Di Eropa Barat etika bisnis sebagai
ilmu baru mulai berkembang kira – kira sepuluh tahun kemudian , mula – mula di
inggris yang secara geografis maupun kultural paling dekat dengan Amerika
Serikat, tetapi tidak lama kemudian juga negara – negara Eropa Barat lainnya.
Semakin banyak fakultas ekonomi atau sekolah bisnis di Eropa mencantumkan mata
kuliah etika bisnis dalam kurikulumnya, sebagai mata kulah pilihan ataupun
wajib di tempuh. Sepuluh tahun kemudinan sudah tedapat dua belas profesor etika
bisnis pertama di universitas – Universitas Eropa. Pada tahun 1987 didirikan
European Business Ethich Network (EBEN) yang bertujuan menjadi forum pertemuan
antara akademisi dari universitas serta seklah bisnis , para pengusaha dan
wakil –wakil organisasi nasional dan internasional 9seperti misalnya serikat
buruh). Konferensi EBEN yang pertama berlangsung di Brussel (1987). Konferensi
kedua di Barcelona (1989) dan selanjutnya ada konferensi setiap tahun : milano
(1990), London (1991), Paris (1992), Sanvika , noewegia (1993), St. Gallen Swis
(1994), Breukelen , Belanda (1995), Frankfurt (1996). Sebagaian bahan
konferensi – konferensi itu telah diterbitkan dalam bentuk buku.
5.
Etika bisnis menjadi fenomena global
tahun 1990-an
Dalam dekade 1990-an sudah menjadi
jelas ,etika bisnis tidak terbatas lagi pada dunia barat. Kini etika bisnis
dipeajari, diajarkan dan dikembangkan di seluruh dunia, kita mendungar tentang
kehadiran etika bisnis amerika latin, eropa timur, apalagi sejak runthnya
komunisme disana sebagai sistem politik dan ekonomi. Tidak mengherankan bila
etika bisnis mendapat perhatian khusus di negara yang memiliki ekonomi yang
paling kuat di luar dunia barat. Tanda bukti terakhir bagi sifat gllobal etika
bisnis adalah telah didirikannya international society for business management
economis and ethics (ISBEE).
Profil Etika Bisnis Dewasa Ini
Kini etika bisnis mempunyai status
imiah yang serius. Ia semakin diterima di antara ilmu – ilmu yang sudah mapan
dan memiliki ciri – ciri yang biasanya menandai sebuah ilmu. Tentu saja masih
banyak harus dikerjakan. Etika bisnis harus bergumul terus untuk membuktikan
diri sebagai disiplin ilmu yang dapat disegani. Disini kami berusaha
menggambarkan beberapa pertanda yang menunjukan setatus itu cukup meyakinkan,
sekaligus kami mencoba melukiskan profil ilmiah dari etika bisnis sebagaimana
tampak sekarang.
· Praktis di segala kawasan etika bisnis diberikan sebagai
mata kuliah di perguruan tinggi.
· Banyak sekali publikasi diterbitkan etika bisnis. Pada tahun
1987 De George menyebut adanya paling sidikit 20 buku pegangan tentang etika
bisnis dan 10 buku kasus Amerika Serikat.
· Sudah ada cukup banyak jurnal ilmiah khusus tentang etika
bisnis, munculnya jurnal merupakan suatu gejala penting yang menunjukan
tercapainya kematangan ilmiah bagi bidang yang bersangkutan.
ANALISIS :
Munculnya etika dalam bisnis di
negara-negara seperti Amerika Serikat dan Eropa yang semakin berkembang
akhirnya dipraktekan di negara ASEAN termasuk Indonesia, saat ini di Indonesia
telah banyak perguruan tinggi yang mengajarkan etika dalam dunia bisnis. Selain
itu telah didirikan Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU) di
Indonesia.