Kamis, 05 Oktober 2017

Etika Profesi Akuntansi


Etika Profesi Akuntansi

1.   Basis teori etika
Teleologi berasal dari bahasa Yunani yaitu telos yang memiliki arti tujuan. Dalam hal mengukur baik buruknya suatu tindakan yaitu berdasarkan tujuan yang akan dicapai atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan dari tidakan yang telah dilakukan. Dalam tori teleologi terdapat dua aliran, yaitu.
  • Egoisme etis     :  Inti pandangan dari egoisme adalah tindakan dari setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar kepentingan pribadi dan memajukan diri sendiri.
Contoh             : Anto yang selalu bekerja keras di dalam perusahaan A untuk mengejar posisi yang tertinggi.
  • Utilitarianisme : Berasal dari bahasa Latin yaitu utilis yang memiliki arti bermanfaat. Menurut teori ini, suatu perbuatan memiliki arti baik jika membawa manfaat bagi seluruh masyarakat ( The greatest happiness of the greatest number ).
Contoh             : Andi di desa nya yang membangun koperasi untuk membantu sebagian masyarakat di desa nya
  1. Deontologi
Deontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu deon yang memiliki arti kewajiban. Jika terdapat pertanyaan “Mengapa perbuatan ini baik dan perbuatan itu harus ditolak karena buruk?”. Maka Deontologi akan menjawab “karena perbuatan pertama menjadi kewajiban kita dan arena perbuatan kedua dilarang”. Pendekatan deontologi sudah diterima oleh agama dan merupakan salah satu teori etika yang penting.
Contoh             : Andi yang beragama islam harus melalukan ibadah yang sesuai di ajarkan.
  1. Teori Hak
Dalam pemikiran moral saat ini, teori hak merupakan pendekatan yang paling banyak dipakai untuk mengevaluasi baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku. Teori hak ini merupakan suatu aspek dari teori deontologi karena berkaitan dengan kewajiban. Hak didasarkan atas martabat manusia dan martabat semua manusia adalah sama. Oleh karena itu, hak sangat cocok dengan suasana pemikiran demokratis.
Contoh                         : Seorang pegawai yang menerima gaji tiap bulannya sebagai haknya dia
  1. Teori Keutamaan ( Virtue )
Dalam teori keutamaan memandang sikap atau akhlak seseorang. Keutamaan bisa didefinisikan sebagai disposisi watak yang telah diperoleh seseorang dan memungkinkan seseorang untuk bertingkah laku baik secara moral.
Contoh             :
  • Kebijaksanaan             : Seorang pemimpin perusahaan yang harus bijak mengambil keputusan di dalam perusahaan
  • Keadilan                      : Orang tua yang mempunyai 2 anak , mereka harus bias adil memperlakukan anak mereka agar tidak ada iri hati
  • Suka bekerja keras       : Andi yang bekerja keras demi mencapai cita-citanya
  • Hidup yang baik          : Andi yang beragama islam harus mempunyai hidup yang baik dimana pun berada.


2.   Prinsip dalam etika berprofesi
Prinsip-prinsip etika profesi
Tuntutan profesional sangat erat hubungannya dengan suatu kode etik untuk masing-masing profesi. Kode etik itu berkaitan dengan prinsip etika tertentu yang berlaku untuk suatu profesi. Di sini akan dikemukakan empat prinsip etika profesi yang paling kurang berlaku untuk semua profesi pada umumnya. Tentu saja prinsip-prinsip ini sangat minimal sifatnya, karena prinsip-prinsip etika pada umumnya yang paling berlaku bagi semua orang, juga berlaku bagi kaum profesional sejauh mereka adalah manusia.

1. Pertama, prinsip tanggung jawab. Tanggung jawab adalah satu prinsip pokok bagi kaum profesional, orang yang profesional sudah dengan sendirinya berarti orang yang bertanggung jawab. Pertama, bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaannya dan terhadap hasilnya. Maksudnya, orang yang profesional tidak hanya diharapkan melainkan juga dari dalam dirinya sendiri menuntut dirinya untuk bekerja sebaik mungkin dengan standar di atas rata-rata, dengan hasil yang maksimum dan dengan moto yang terbaik. Ia bertanggung jawab menjalankan pekerjaannya sebaik mungkin dan dengan hasil yang memuaskan dengan kata lain. Ia sendiri dapat mempertanggungjawabkan tugas pekerjaannya itu berdasarkan tuntutan profesionalitasnya baik terhadap orang lain yang terkait langsung dengan profesinya maupun yang terhadap dirinya sendiri. Kedua, ia juga bertanggung jawab atas dampak profesinya itu terhadap kehidupan dan kepentingan orang lain khususnya kepentingan orang-orang yang dilayaninya. Pada tingkat dimana profesinya itu membawa kerugian tertentu secara disengaja atau tidak disengaja, ia harus bertanggung jawab atas hal tersebut, bentuknya bisa macam-macam. Mengganti kerugian, pengakuan jujur dan tulus secara moral sebagai telah melakukan kesalahan: mundur dari jabatannya dan sebagainya.

2. Prinsip kedua adalah prinsip keadilan . Prinsip ini terutama menuntut orang yang profesional agar dalam menjalankan profesinya ia tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tertentu, khususnya orang-orang yang dilayaninya dalam rangka profesinya demikian pula. Prinsip ini menuntut agar dalam menjalankan profesinya orang yang profesional tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap siapapun termasuk orang yang mungkin tidak membayar jasa profesionalnya .prinsip “siapa yang datang pertama mendapat pelayanan pertama” merupakan perwujudan sangat konkret prinsip keadilan dalam arti yang seluas-luasnya .jadi, orang yang profesional tidak boleh membeda-bedakan pelayanannya dan juga kadar dan mutu pelayanannya itu jangan sampai terjadi bahwa mutu dan itensitas pelayanannya profesional dikurangi kepada orang yang miskin hanya karena orang miskin itu tidak membayar secara memadai. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa kasus yang sering terjadi di sebuah rumah sakit, yang mana rumah sakit tersebut seringkali memprioritaskan pelayanan kepada orang yang dianggap mampu untuk membayar seluruh biaya pengobatan, tetapi mereka melakukan hal sebaliknya kepada orang miskin yang kurang mampu dalam membayar biaya pengobatan. Penyimpangan seperti ini sangat tidak sesuai dengan etika profesi, profesional dan profesionalisme, karena keprofesionalan ditujukan untuk kepentingan orang banyak (melayani masyarakat) tanpa membedakan status atau tingkat kekayaan orang tersebut.

3. Prinsip ketiga adalah prinsip otonomi. Ini lebih merupakan prinsip yang dituntut oleh kalangan profesional terhadap dunia luar agar mereka diberi kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan profesinya. Sebenarnya ini merupakan kensekuensi dari hakikat profesi itu sendiri. Karena, hanya kaum profesional ahli dan terampil dalam bidang profesinya, tidak boleh ada pihak luar yang ikut campur tangan dalam pelaksanaan profesi tersebut. ini terutama ditujukan kepada pihak pemerintah. Yaitu, bahwa pemerintah harus menghargai otonomi profesi yang bersangkutan dan karena itu tidak boleh mencampuri urusan pelaksanaan profesi tersebut. Otonomi ini juga penting agar kaum profesional itu bisa secara bebas mengembangkan profesinya, bisa melakukan inovasi, dan kreasi tertentu yang kiranya berguna bagi perkembangan profesi itu dan kepentingan masyarakat luas. Namun begitu tetap saja seorang profesional harus diberikan rambu-rambu / peraturan yang dibuat oleh pemerintah untuk membatasi / meminimalisir adanya pelanggaran yang dilakukan terhadap etika profesi, dan tentu saja peraturan tersebut ditegakkan oleh pemerintah tanpa campur tangan langsung terhadap profesi yang dikerjakan oleh profesional tersebut.
Hanya saja otonomi ini punya batas-batasnya juga. Pertama, prinsip otonomi dibatasi oleh tanggung jawab dan komitmen profesional (keahlian dan moral) atas kemajuan profesi tersebut serta (dampaknya pada) kepentingan masyarakat. Jadi, otonomi ini hanya berlaku sejauh disertai dengan tanggung jawab profesional. Secara khusus, dibatasi oleh tanggung jawab bahwa orang yang profesional itu, dalam menjalankan profesinya secara otonom, tidak sampai akan merugikan hak dan kewajiban pihak lain. Kedua, otonomi juga dibatasi dalam pengertian bahwa kendati pemerintah di tempat pertama menghargai otonom kaum profesional, pemerintah tetap menjaga, dan pada waktunya malah ikut campur tangan, agar pelaksanaan profesi tertentu tidak sampai merugikan kepentingan umum. Jadi, otonomi itu hanya berlaku sejauh tidak sampai merugikan kepentingan bersama. Dengan kata lain, kaum profesional memang otonom dan bebas dalam menjalankan tugas profesinya asalkan tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tetentu, termasuk kepentingan umum. Sebaliknya, kalau hak dan kepentingan pihak tertentu dilanggar, maka otonomi profesi tidak lagi berlaku dan karena itu pemerintah wajib ikut campur tangan dengan menindak pihak yang merugikan pihak lain tadi. Jadi campur tangan pemerintah disini hanya sebatas pembuatan dan penegakan etika profesi saja agar tidak merugikan kepentingan umum dan tanpa mencampuri profesi itu sendiri. Adapun kesimpangsiuran dalam hal campur tangan pemerintah ini adalah dapat dimisalkan adanya oknum salah seorang pegawai departemen agama pada profesi penghulu, yang misalnya saja untuk menikahkan sepasang pengantin dia meminta bayaran jauh lebih besar daripada peraturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.

4. Prinsip integritas moral. Berdasarkan hakikat dan ciri-ciri profesi di atas terlihat jelas bahwa orang yang profesional adalah juga orang yang punya integritas pribadi atau moral yang tinggi. Karena, ia mempunyai komitmen pribadi untuk menjaga keluhuran profesinya, nama baiknya dan juga kepentingan orang lain dan masyarakat. Dengan demikian, sebenarnya prinsip ini merupakan tuntutan kaum profesional atas dirinya sendiri bahwa dalam menjalankan tugas profesinya ia tidak akan sampai merusak nama baiknya serta citra dan martabat profesinya. Maka, ia sendiri akan menuntut dirinya sendiri untuk bertanggung jawab atas profesinya serta tidak melecehkan nilai yang dijunjung tinggi dan diperjuangkan profesinya. Karena itu, pertama, ia tidak akan mudah kalah dan menyerah pada godaan atau bujukan apa pun untuk lari atau melakukan tindakan yang melanggar niali uang dijunjung tinggi profesinya. Seorang hakim yang punya integritas moral yang tinggi menuntut dirinya untuk tidak mudah kalah dan menyerah atas bujukan apa pun untuk memutuskan perkara yang bertentangan dengan prinsip keadilan sebagai nilai tertinggi yang diperjuangkan profesinya. Ia tidak akan mudah menyerah terhadap bujukan uang, bahkan terhadap ancaman teror, fitnah, kekuasaan dan semacamnya demi mempertahankan dan menegakkan keadilan. Kendati, ia malah sebaliknya malu kalau bertindak tidak sesuai dengan niali-nilai moral, khususnya nilai yang melekat pada dan diperjuangkan profesinya. Sikap malu ini terutama diperlihatkan dengan mundur dari jabatan atau profesinya. Bahkan, ia rela mati hanya demi memepertahankan kebenaran nilai yang dijunjungnya itu. Dengan kata lain, prinsip integritas moral menunjukan bahwa orang tersebut punya pendirian yang teguh, khususnya dalam memperjuangjan nilai yang dianut profesinya. Biasanya hal ini (keteguhan pendirian) tidak bisa didapat secara langsung oleh pelaku profesi (profesional), misalnya saja seorang yang baru lulus dari fakultas kedokteran tidak akan langsung dapat menjalankan seluruh profesi kedokterannya tersebut, melainkan dengan pengalaman (jam terbang) dokter tersebut dalam melayani masyarakat.

3.   Lingkungan bisnis yang mempengaruhi perilaku etika
untuk terciptanya etika didalam bisnis yang sesuai dengan budi pekerti luhur, ada beberapa yang perlu diperhatikan, antara lain :
  • Pengendalian diri
  • Pengembangan tenggung jawab sosial
  • Mempertahankan jati diri
  • Menciptakan persaingan yang sehat
  • Menerapkan konsep pembangunan yang berkelanjutan.
Adapun hal-hal yang perlu dihindari agar terciptanya etika didalam bisnis yang baik yaitu menghindari sikap 5K
  • Katabelece
  • Kongkalikong
  • Koneksi
  • Kolusi, dan
  • Komisi
KESALING TERGANTUNGAN ANTARA BISNIS DAN MASYARAKAT
Perusahaan yang merupakan suatu lingkungan bisnis juga sebuah organisasi yang memiliki struktur yag cukup jelas dalam pengelolaannya. ada banyak interaksi antar pribadi maupun institusi yang terlibat di dalamnya. Dengan begitu kecenderungan untuk terjadinya konflik dan terbukanya penyelewengan sangat mungkin terjadi. baik di dalam tataran manajemen ataupun personal dalam setiap tim maupun hubungan perusahaan dengan lingkungan sekitar. untuk itu etika ternyata diperlukan sebagai kontrol akan kebijakan, demi kepentingan perusahaan itu sendiri. Oleh karena itu kewajiban perusahaan adalah mengejar berbagai sasaran jangka panjang yang baik bagi masyarakat.
Berikut adalah beberapa hubungan kesaling tergantungan antara bisnis dengan masyarakat.
  • Hubungan antara bisnis dengan langganan / konsumen
Hubungan antara bisnis dengan langgananya adalah hubungan yang paling banyak dilakukan, oleh karena itu bisnis haruslah menjaga etika pergaulanya secara baik. Adapun pergaulannya dengan langganan ini dapat disebut disini misalnya saja :
Kemasan yang berbeda-beda membuat konsumen sulit untuk membedakan atau mengadakan perbandingan harga terhadap produknya.
Bungkus atau kemasan membuat konsumen tidak dapat mengetahui isi didalamnya,
Pemberian servis dan terutama garansi adalah merupakan tindakan yang sangat etis bagi suatu bisnis.
  • Hubungan dengan karyawan
Manajer yang pada umumnya selalu berpandangan untuk memajukan bisnisnya sering kali harus berurusan dengan etika pergaulan dengan karyawannya. Pergaulan bisnis dengan karyawan ini meliputi beberapa hal yakni : Penarikan (recruitment), Latihan (training), Promosi atau kenaikan pangkat, Tranfer, demosi (penurunan pangkat) maupun lay-off atau pemecatan / PHK (pemutusan hubungan kerja).
  •  Hubungan antar bisnis
Hubungan ini merupakan hubungan antara perusahaan yang satu dengan perusahan yang lain. Hal ini bisa terjadi hubungan antara perusahaan dengan para pesaing, grosir, pengecer, agen tunggal maupun distributor.
  •  Hubungan dengan Investor
Perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas dan terutama yang akan atau telah “go publik” harus menjaga pemberian informasi yang baik dan jujur dari bisnisnya kepada para insvestor atau calon investornya. prospek perusahan yang go public tersebut. Jangan sampai terjadi adanya manipulasi atau penipuan terhadap informasi terhadap hal ini.
  •  Hubungan dengan Lembaga-Lembaga Keuangan
Hubungan dengan lembaga-lembaga keuangan terutama pajak pada umumnya merupakan hubungan pergaulan yang bersifat finansial.
KEPEDULIAN PELAKU BISNIS TERHADAP ETIKA
Etika bisnis dalam suatu perusahaan mempunyai peranan yang sangat penting, yaitu untuk membentuk suatu bisnis yang kokoh dan kuat dan mempunyai daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan untuk menciptakan nilai yang tinggi. Perilaku etis dalam kegiatan berbisnis adalah sesuatu yang penting demi kelangsungan hidup bisnis itu sendiri. Bisnis yang tidak etis akan merugikan bisnis itu sendiri terutama jika dilihat dari perspektif jangka panjang. Bisnis yang baik bukan saja bisnis yang menguntungkan, tetapi bisnis yang baik adalah selain bisnis tersebut menguntungkan juga bisnis yang baik secara moral.
Tolak ukur dalam etika bisnis adalah standar moral. Seorang pengusaha yang beretika selalu mempertimbangkan standar moral dalam mengambil keputusan, apakah keputusan ini dinilai baik atau buruk oleh masyarakat, apakah keputusan ini berdampak baik atau buruk bagi orang lain, atau apakah keputusan ini melanggar hukum.
Dalam menciptakan etika bisnis perlu diperhatikan beberapa hal, antara lain  pengendalian diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi, pengembangan tanggung jawab sosial, mempertahankan jati diri, menciptakan persaingan yang sehat, menerapkan konsep pembangunan yang berkelanjutan, mampu menyatakan hal yang benar, Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha kebawah, Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama dan lain sebagainya.

4.   Perkembangan dalam etika bisnis
1.      Situasi terdahulu
Berabad-abad lamanya etika berbicara pada taraf ilmiah tentang masalah ekonomi dan bisnis sebgai salah satu topic di samping sekian banyak topic lain. Pada awal sejarah filsafat, Plato, Aristoteles, dan filsuf-filsuf Yunani lain meyelidiki bagaimana sebaiknya mengatur kehidupan menusia bersama dalam Negara dan dalam konteks itu mereka membahas juga bagaimana kehidupan ekonomi dan kegiatan niaga harus diatur. Dalam filsafat dan teologi Abad pertengahan pembahasan ini dilanjutkan, dalam kalangan Kristen maupun Islam, Topik-topik moral sekitar ekonomi dan perniagaan tidak luput pula dari perhatian filsafat (dan teologi) di zaman modern.
Dengan membatasi diri pada situasi di Amerika Serikat selama paro pertama abad ke-20, De George melukiskan bagaimana di perguruan tinggi masalah moral di sekitar ekonomi dan bisnis terutama disoroti dalam teologi.
Pada waktu itu di banyak universitas diberikan kuliah agama dimana mahasiswa mempelajari masalah-masalh moral sekitar ekonomi dan bisnis. Pembahasannya tentu berbeda, sejauh mata kuliah ini diberikan dalam kalangan Katolik atau Protestan. Dalam kalangan Katolik, pada umumnya mata kuliah ini mendalami “Ajaran Sosial Gereja”. Yang dimaksudkan dengannya adalah uraian sistematis dari ajaran para paus dalam ensiklik-ensiklik social, mulai dengan ensiklik Rerum Novarum (1891) dari Paus Leo XIII. Disini disinggung banyak tema yang menyangkut moralitas dalam kehidupan social-ekonomi seperti hak pekerja atas kondisi kerja yang baik dan imbalan yang pantas, pentingnya nilai-nilai moral bertentangan dengan suasana materialitas dan konsumeristis, keadilan social dan upaya memperbaiki taraf hidup orang miskin, dan sebagainya. Dalam kalangan Protestan, buku teolog Jerman Reinhold Niebuhr Moral man and Immoral Society (New York, 1932) menjalankan pengaruh besar atas pengajaran etika mengenai tema-tema sosio ekonomi dan bisnis di perguruan tinggi mereka.
Dengan demikian di Amerika Serikat selama paro pertama abad ke-20 etika dalam bisnis terutama dipraktekkan dalam konteks agama dan teologi. Dan pendekatan ini masih berlangsung terus sampai hari ini, di Amerika Serikat maupun di tempat lain. Para paus mengeluarkan ensiklik-ensiklik social baru sampai dengan Sollicitudo Rei Socialis (1987) dan Centesimus Annus (1991) dari Paus Yohanes Paulus II. Suatu contoh bagus khusus untuk Amerika Serikat adalah dokumen pastoral yang dikeluarkan oleh para uskup Amerika Serikat dengan judul Economic Justice for All. Catholic Social Teaching and the U.S. Economy (1986).

2.      Masa Peralihan tahun 1960-an
Dalam tahu 1960-an terjadi perkembangan baru yang bisa dlihat sebagai persiapan langsung bagi ti,bulnya etika bisnis dalam decade berikutnya. Dasawarsa 1960-an ini di Amerika Serikat (dan dunia Barat pada umumnya) ditandai oleh pemberontakan terhadap kuasa dan otoritas, revolusi mahasiswa (mulai di ibukota Prancis bulan Mei 1968), penolakan terhadap establishment (kemapanan). Suasana tidak tenang ini diperkuat lagi karena frustasi yang dirasakan secara khusus oleh kaum muda dengan keterlibatan Amerika Serikat dalam perang Vietnam. Rasa tidak puas ini mengakibatkan demonstrasi-demonstrasi paling besar yang pernah disaksikan di Amerika Serikat. Secara khusus kaum muda menolak kolusi yang dimata mereka terjadi antara militer dan industry. Industry dinilai terutama melayani kepentingan militer. Serentak juga untuk pertama kali timbul kesadaran akan masalah ekologis dan terutama industri dianggap sebagai penyebab masalah lingkungan hidup itu dengan polusi udara, air, dan tanah serta limbah beracun dan sampah nuklir. Pada waktu yang sama timbul juga suatu sikap anti-konsumeristis. Suasana konsumerisme semakin dilihat sebagai tendensi yang tidak sehat dalam masyarakat dan diakibatkan oleh bisnis modern antara lain dengan kampanye periklanan yang sering kali berlebihan. Semua factor ini mengakibatkan suatu sikap anti bisnis pada kaum muda, khususnya mahasiswa.
Dunia pendidikan menanggapi situasi ini dengan cara berbeda-beda. Salah satu reaksi paling penting adalah member perhatian khusus kepada social issues dalam kuliah tentang manajemen. Bebrapa sekolah bisnis mulai dengan mencantumkan mata kuliah baru dalam kurikulumnya yang biasa diberi nama Business and Society. Kuliah ini diberikan oleh dosen-dosen manajemen dan mereka menyusun buku-buku pegangan dan publikasi lain untuk menunjang mata kuliah baru itu. Salah satu topic yang menjadi popular dalam konteks itu adalah corporate social responsibility ( tanggung jawab social perusahaan). Pendekatan ini diadakan dari segi manajemen dengan sebagaian melibatkan juga hokum dan sosiologi, tetapi teori etika filosofis di sini belum dimanfaatkan.

3.      Etika  bisnis lahir di Amerika Serikat tahun 1970-an
Etika bisnis sebagai suatu bidang intelektual dan akademis dengan identitas sendiri mulai terbentuk di Amerika Serikat sejak tahun 1970-an. Jika sebelumnya etika membicarakan aspek-aspek moral dari bisnis di samping banyak pokok pembicaraan moral lainnya (etika dalam hubungan dengan bisnis), kini mulai berkembang etika bisnis dalam arti sebenarnya. Terutama ada dua factor yang member kontribusi besar kepada kelahiran etika bisnis di Amerika Serikat pada pertengahan tahun 1970-an. Sejumlah filsuf mulai terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etika sekitar bisnis dan etika bisnis dianggap sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang sedang meliputi dunia bisnis di Amerika Serikat. Kita akan memandang dua factor ini dengan lebih rinci.
Jika sebelumya hanya para teolog dan agamawan pada tahap ilmiah membicarakan masalah-masalah moral dari bisnis, pada tahun 1970-an para filsuf memasuki wilayah penelitian ini dan dalam waktu singkat menjadi kelompok yang paling dominan. Beberapa tahun sebelumnya, filsuf-filsuf lain sudah menentukan etika biomedis (disebut juga : bioetika) sebagai suatu bidang garapan yang baru. Sebagaian terdorong oleh sukses usaha itu, kemudian beberapa filsuf memberanikan diri untuk terjun dalam etika bisnis sebagai sebuah cabang etika terapan lainnya. Bagi filsuf-filsuf bersangkutan sebenarnya langkah ini merupakan perubahan cukup radikal, karena suasana umum penelitian filsafat pada saat itu justru jauh dari masalah praktis. Pantas dicatat lagi, dalam mengembangkan etika bisnis para filsuf cenderung bekerja sama dengan ahli-ahli lain, khususnya ahli ekonomi dan manejemen. Dengan itu mereka meneruskan tendensi etika terapan pada umumnya, yang selalu berorientasi multidisipliner. Norman E. Bowie malah menyebut suatu kerja sama macam itu sebagai tanggal kelahiran etika bisnis, yaitu konferensi perdana tentang etika bisnis yang diselenggarakan di Universitas Kansan oleh Philosophy Departement (Richard De George) bersama College of Business (joseph Pichler) bulan November 1974. Makalah-makalahnya kemudian diterbitkan dalam bentuk buku : Ethics, Free Enterprise, and Public Policy: Essays on Moral Issues in Business (1978)
Factor kedua yang memacu timbulnya etika bisnis sebagai suatu bidang studi yang serius adalah krisis moral yang dialami dunia bisnis Amerika pada awal tahun 1970-an. Krisis moral dalam yang dialami dunia bisnis itu diperkuat lagi oleh krisis moral lebih umum yang melanda seluruh masyarakat Amerika pada waktu itu. Sekitar tahun 1970 masih berlangsung demonstrasi-demonstrasi besar melawan keterlibatan Amerika dalam perang Vietnam. Karena perkembangan perang ini, banyak orang mulai meragukan kredibilitas pemerintah federal di Washington dan para politisi pada umumnya. Krisis moral ini menjadi lebih besar lagi dengan menguaknya “Watergate Affair” yang akhirnya memaksa Presiden Richard Nixon mengundurkan diri (pertama kali dalam sejarah Amerika). Dilatarbelakangi krisis moral yang umum itu, dunia bisnis Amerika tertimpa oleh krisis moral yang khusus. Pada awal tahun 1970-an terjadi beberapa skandal dalam bisnis Amerika, di mana pebisnis berusaha menyuap politisi atau member sumbangan illegal kepada kampanye politik. Yang mendapat publisitas paling luas antara skandal-skandal bisnis ini adalah “Lockheed Affair”, kasus korupsi yang melibatkan perusahaan pesawat terbang Amerika yang terkemuka ini. Kasus korupsi dan komisi seperti itu mengakibatkan moralitas dalam berbisnis semakin dipertanyakan. Masyarakat mulai menyadari bahwa ada suasana kurang sehat dalam dunia bisnis dan bahwa krisis moral itu segera harus diatasi.
Sebagaian sebagai reaksi atas terjadinya peristiwa-peristiwa tidak etis ini pada awal tahun 1970-an dalam kalangan pendidikan Amerika dirasakan kebutukan akan refleksi etika di bidang bisnis. Salah satu usaha khusus adalah menjadikan etika bisnis sebagai mata kuliah dalam kurikulum perguruan tinggi yang mendidik manajer dan ahli ekonomi. Keputusan ini ternyata berdampak luas. Jika etika bisnis menjadi suatu mata kuliah tersendiri, harus ada dosen, buku pegangan dan bahan pengajaran lainnya, pendidikan dosen etika bisnis haru diatur, komunikasi ilmiah antara para ahli etika bisnis harus dijamin dengan dibukanya organisasi profesi serta jurnal ilmiah, dan seterusnya. Misalnya, Norman E. Bowie, sekretaris eksekutif dari American Philosophical Association, mengajukan proposal kepada National Endowment for the Humanities (dari Kementerian Pendidikan Amerika) guna menyusun pedoman untuk pengajaran kuliah etika bisnis. Kelompok yang yang terdiri atas beberapa filsuf, dosen sekolah bisnis, dan praktisi bisnis ini diberi nama Commeittee for Education in Business Eyhics dan membutuhkan tiga tahun untuk menyelesaikan laporannya pada akhir tahun 1980. Dengan demikian dipilihnya etika bisnis sebagai mata kuliah dalam kurikulum sekolah bisnis banyak menyumbang kepada perkembangannya kea rah bidang ilmiah yang memiliki identitas sendiri.

4.      Etika bisnis meluas ke Eropa tahun 1980-an
Di Eropa Barat etika bisnis sebagai ilmu baru mulai berkembang kira – kira sepuluh tahun kemudian , mula – mula di inggris yang secara geografis maupun kultural paling dekat dengan Amerika Serikat, tetapi tidak lama kemudian juga negara – negara Eropa Barat lainnya. Semakin banyak fakultas ekonomi atau sekolah bisnis di Eropa mencantumkan mata kuliah etika bisnis dalam kurikulumnya, sebagai mata kulah pilihan ataupun wajib di tempuh. Sepuluh tahun kemudinan sudah tedapat dua belas profesor etika bisnis pertama di universitas – Universitas Eropa. Pada tahun 1987 didirikan European Business Ethich Network (EBEN) yang bertujuan menjadi forum pertemuan antara akademisi dari universitas serta seklah bisnis , para pengusaha dan wakil –wakil organisasi nasional dan internasional 9seperti misalnya serikat buruh). Konferensi EBEN yang pertama berlangsung di Brussel (1987). Konferensi kedua di Barcelona (1989) dan selanjutnya ada konferensi setiap tahun : milano (1990), London (1991), Paris (1992), Sanvika , noewegia (1993), St. Gallen Swis (1994), Breukelen , Belanda (1995), Frankfurt (1996). Sebagaian bahan konferensi – konferensi itu telah diterbitkan dalam bentuk buku.

5.      Etika bisnis menjadi fenomena global tahun 1990-an
Dalam dekade 1990-an sudah menjadi jelas ,etika bisnis tidak terbatas lagi pada dunia barat. Kini etika bisnis dipeajari, diajarkan dan dikembangkan di seluruh dunia, kita mendungar tentang kehadiran etika bisnis amerika latin, eropa timur, apalagi sejak runthnya komunisme disana sebagai sistem politik dan ekonomi. Tidak mengherankan bila etika bisnis mendapat perhatian khusus di negara yang memiliki ekonomi yang paling kuat di luar dunia barat. Tanda bukti terakhir bagi sifat gllobal etika bisnis adalah telah didirikannya international society for business management economis and ethics (ISBEE).


Profil Etika Bisnis Dewasa Ini
Kini etika bisnis mempunyai status imiah yang serius. Ia semakin diterima di antara ilmu – ilmu yang sudah mapan dan memiliki ciri – ciri yang biasanya menandai sebuah ilmu. Tentu saja masih banyak harus dikerjakan. Etika bisnis harus bergumul terus untuk membuktikan diri sebagai disiplin ilmu yang dapat disegani. Disini kami berusaha menggambarkan beberapa pertanda yang menunjukan setatus itu cukup meyakinkan, sekaligus kami mencoba melukiskan profil ilmiah dari etika bisnis sebagaimana tampak sekarang.
·         Praktis di segala kawasan etika bisnis diberikan sebagai mata kuliah di perguruan tinggi.
·         Banyak sekali publikasi diterbitkan etika bisnis. Pada tahun 1987 De George menyebut adanya paling sidikit 20 buku pegangan tentang etika bisnis dan 10 buku kasus Amerika Serikat.
·         Sudah ada cukup banyak jurnal ilmiah khusus tentang etika bisnis, munculnya jurnal merupakan suatu gejala penting yang menunjukan tercapainya kematangan ilmiah bagi bidang yang bersangkutan.
ANALISIS :
Munculnya etika dalam bisnis di negara-negara seperti Amerika Serikat dan Eropa yang semakin berkembang akhirnya dipraktekan di negara ASEAN termasuk Indonesia, saat ini di Indonesia telah banyak perguruan tinggi yang mengajarkan etika dalam dunia bisnis. Selain itu telah didirikan Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU) di Indonesia.


Unknown Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.